Selasa, 05 Januari 2010

Persaingan Bisnis Alfamart vs. Indomaret

Indofood Group merupakan perusahaan pertama yang menjadi pionir lahirnya mini market di Indonesia pada tahun 1988. Kemudian Hero Supermarket mendirikan Starmart pada tahun 1991. Di susul Alfa Group mendirikan Alfa Minimart pada tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi Alfamart. Dalam hitungan tahun, mini market telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu konsumen hanya mengejar harga murah, sekarang tidak hanya itu saja tetapi kenyamanan berbelanja pun menjadi daya tarik tersendiri.
Bisnis mini market melalui jejaring waralaba alias franchise berkembang biak sampai pelosok kota kecamatan kecil. Tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Khususnya mini market dengan brand Indomaret dan Alfamart. Siapa yang tidak kenal Indomaret? Dan siapa yang tidak kenal Alfamart? Anak kecil pun kalau beli permen pasti “nunjuknya” minta ke Indomaret atau ke Alfamart. Kedua merk ini dimiliki oleh group perusahaan raksasa yaitu Indomaret milik PT. Indomarco Prismatama (Indofood Group) dan Alfamart milik perusahaan patungan antara Alfa Group dan PT. HM Sampoerna, Tbk.
Indomaret ternyata berkembang tidak hanya dengan jejaring waralaba yang mencapai 785 gerai, tetapi gerai milik sendiri seabreg jumlahnya mencapai 1072 gerai(lihat grafik perkembangan toko yang diambil dari www.indomaret.co.id ). Sedangkan Alfamart berdasarkan penelusuran penulis di www.alfamartku.com memiliki 1400 gerai, tidak diperoleh data mengenai jumlah yang dimiliki sendiri dan yang dimiliki terwaralaba.
Bila kita hitung rata-rata nilai investasi minimal untuk mendirikan mini market waralaba sekitar Rp. 300 juta saja (diluar bangunan). Dikalikan dengan 1.072 gerai yang dimiliki sendiri. Berapa ratus milyar PT. Indomarco Prismatama mengeluarkan dana untuk investasi di bisnis mini market? Indofood Group juga ternyata tidak saja pemilik merk Indomaret, tetapi juga mendirikan mini market Omi, Ceriamart, dan Citimart lewat anak perusahaannya yang lain. Belum lagi didukung dengan distribusi barang, bahkan juga sebagai produsen beberapa merk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua dikuasai dari hulu sampai hilir. Dari sabang sampai merauke.



Persaingan Tidak Seimbang

Pasti kita maklum bersama, betapa sengitnya persaingan di bisnis ritel khususnya Indomaret dan Alfamart sebagai market leader mini market. Dengan mengutip kalimat dalam artikel Sektor Ritel Makin Menggiurkan pada Swa Sembada No.01/XX/6-8 Januari 2005 (sumber.www.indomaret.co.id ) bahwa”Yang mungkin sangat sengit persaingannya adalah dalam hal perebutan lokasi. Pastinya setiap pemain memperebutkan lokasi-lokasi yang dinilai strategis. Apalagi di bisnis ini lokasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Perebutan lokasi strategis ini, bisa juga berpengaruh terhadap harga property. Bisa saja harga ruko jadi naik karena tingginya demand terhadap mini market.”
Jadi betapa agresifnya indomaret dan alfamart dalam memperebutkan lokasi yang dinilai strategis. Bahkan hampir di setiap komplek perumahan/pemukiman pasti akan berdiri salah satu mini market waralaba tersebut dan atau keduanya. Sudah tidak mungkin pedagang eceran tradisional akan mampu mencari lokasi strategis lagi untuk saat ini dan di masa mendatang. Jika kita bandingkan dari modal saja, pedagang eceran sudah sulit bergerak.

Selain itu supermarket, toserba, dan bahkan kini ada pasar raksasa bernama hypermarket bermunculan. Baik hypermarket lokal maupun hypermarket dari luar sana. Sekedar ilustrasi mari kita berhitung sejenak, berapa banyak jumlah pasar raksasa tersebut mulai dari jalan Thamrin, Cikokol sampai BSD City di serpong, Tangerang. Di Kota Modern (Modernland) ada Hypermart , lalu hanya sekitar berjarak 1 km berdiri megah Carefour. Berikutnya di Serpong Town Square, kebon nanas berdiri Giant Hypermarket. Kemudian di World Trade Centre (WTC) Matahari, Serpong berdiri kembali Hypermart. Di samping pintu gerbang perumahan Villa Melati Mas, ada lagi Giant Hypermarket. Dan di International Trade Centre (ITC) BSD City ada Carefour. Semua itu jaraknya antara pasar raksasa yang satu dengan pasar raksasa yang lain hanya sekitar 1 km. Luarrr biasa.!
Apalagi jika kita melihat perang harga promosi mini market atau legih gila lagi hypermarket raksasa. Dengan spanduk atau baliho besar bertuliskan nama barang dan harganya yang fantastis rendah. ! Entah banting harga atau memang harga beli mereka yang teramat rendah bila di bandingkan dengan harga beli pedagang eceran kecil bergerai warung atau toko tradisional. Memang tidak semua barang berharga murah, tetapi membanting harga sedemikian rendahnya di bawah harga pasar, membuat miris para pedagang eceran kecil. Masih untung Cuma perang harga!
Dengan tidak bermaksud menggugat cara-cara promosi yang dilakukan oleh para pengelola pasar raksasa tersebut. Penulis hanya ingin mengajak kepada para pengelola pasar raksasa untuk membayangkan sejenak. Bagaimana perasaan pedagang warung dan toko tradisional, ketika ada konsumen bilang “di hypermarket aja harganya sekian???”. Kita tidak menyalahkan konsumen yang punya pemikiran demikian, membandingkan harga di hypermarket dengan di warung atau toko tradisionl. Juga tidak bisa menyalahkan hypermarket dengan promosi harga yang gila-gilaan. Mungkin ini salah satu fenomena globalisasi.

TETESAN KERINGAT PADA SETIAP KARYA ( HAK CIPTA )

Desain produk, web design, aransemen musik, lirik lagu, puisi atau sekedar tulisan ringan seputar kehidupan sehari-hari merupakan karya-karya yang masuk ke dalam skup karya Intelektual. Ada hak moral serta hak ekonomi terkandung di setiap karya.
Trend blogging yang melanda di Indonesia sejak beberapa tahun silam dan sepertinya masih belum mencapai titik puncaknya makin memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat pembajakan tinggi dan terus bertambah. Hal ini tetap terjadi meski pembajakan software yang diindikasikan dengan penjualan CD/DVD di pasaran semakin berkurang, sebab di sisi lain, terutama pembajakan karya intelektual di dunia online (internet) semakin meningkat pesat. Saya tidak membuat posting ini untuk menggurui semua orang –sebab kenyataannya toh saya juga masih seringkali membajak, walau harus saya akui banyak karya online saya yang dibajak dengan mudahnya–. Posting ini saya buat hanya sekedar ingin berbagi sedikit cara pandang dan upaya pembangunan kesadaran sikap. Orang kuno bilang bahwa pada dasarnya setiap orang itu sama dan yang membedakan hanyalah cara pandangnya terhadap hidup (prinsip). Semoga apa yang saya haturkan dengan sederhana di paragraf berikut dapat sedikit membantu proses pembentukan cara pandang anda terhadap karya orang lain.
Berkarya itu merupakan sebuah proses merealisasikan ide menjadi sebuah bentuk yang memiliki kemanfaatan bagi orang lain. Sekurang-kurangnya untuk membuat suatu karya, seseorang harus meluangkan waktunya untuk menyiapkan ide dan meneteskan keringat untuk mewujudkannya. Tidak jarang untuk mempersiapkan sebuah karya si pemilik ide juga harus mengeluarkan biaya. Bersandar dari kenyataan tersebut tentulah kita semua bisa memahami sungguh bahwasannya berkarya itu membutuhkan pengorbanan. Meski si pemilik karya tidak menjual hasil karyanya dan hanya membagikannya secara gratis (biasanya yang seperti ini adalah karya non fisik sehingga tidak menimbulkan biaya atau hanya sedikit mengeluarkan biaya) bukan berarti hak moral ataupun hak ekonomi si pemilik menjadi terlepas begitu saja.
Berkait dengan tingginya tingkat pembajakan di Indonesia ini, ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh rendahnya pendapatan perkapita masyarakat. Saya sendiri tidak sependapat dengan hal ini dan saya juga meyakini bahwa ada banyak sekali pakar Intelectual Property yang tidak sependapat jika ini dijadikan alasan utama. Benar memang bahwa masyarakat Indonesia itu mayoritas berpendapatan rendah dibandingkan pendapatan perkapita di negara lain hanya saja masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat dengan pola hidup konsumtif. Saya kira keadaan ini tidak jauh berubah sejak Muchtar Lubis di tahun 1970-an menuliskan ciri-ciri manusia Indonesia (…yang salah satunya adalah bahwa masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat konsumtif…) hingga krisis moneter melanda 1 dekade yang lalu. Cari saja statistik jumlah pengguna ringback tone di Indonesia atau cari juga berapa banyak orang Indonesia yang menggunakan jasa premium SMS untuk mengikuti kuis. Jika masih kurang puas, lihat pula statistik penjualan gadget canggih ataupun mobil mewah. Kemudian silakan anda bandingkan itu semua dengan rata-rata income per capita-nya. Saya yakin hasilnya berbanding terbalik ! Berdasarkan fakta tersebut tidak relevan kiranya menjadikan rendahnya per capita income sebagai kambing hitam. Lalu apa?
Saya berpendapat bahwa hal ini tidak lain disebabkan oleh tingkat kesadaran terhadap Intelectual Property yang berbeda-beda di Indonesia. Parahnya, tingkat kesadaran yang rendah sepertinya lebih banyak mendominasi. Pada aspek ini kita tidak bisa menggunakan tingginya tingkat penggunaan ringbacktone sebagai bukti tingginya kesadaran orang Indonesia akan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebab faktanya industri nada sambung pribadi (ringback tone) memang dikelola oleh provider terbatas. Justru, tingginya tingkat penggunaan ringbacktone di tengah rendahnya kesadaran HKI dapat menjadi pelajaran menarik. Sepertinya, masyarakat Indonesia mudah terpengaruh dengan yang namanya tren. Juga sangat termakan dengan sesuatu yang prestise. Untuk itu sepertinya para trendsetter serta penghasil karya intelektual haruslah bersama-sama menciptakan budaya gengsi membajak dan menjadikan tindakan menghargai hasil karya sebagai suatu tren. Mungkin, hal ini dapat mengurangi atau setidaknya menghentikan tren naik pembajakan di bumi pertiwi ini.
Kiranya saat ini cukup demikian yang bisa saya tuliskan. Semoga apa yang saya maksudkan bisa tersampaikan dengan baik melalui tulisan di atas.

Kemiskinan dan Kesejahteraan Bangsa

"... kita tidak perlu gundah dan nelangsa meratapi kemiskinan berlarut-larut, akanlah bijak menjadi bangsa mandiri dan heroik dalam mengatasi tantangan dan rintangan apa pun bentuknya untuk dijadikan jembatan dalam menggapai kesejahteraan yang berkeadilan, merata, dan berkelanjutan."
ISU kemiskinan seakan sepi dari percakapan sehari-hari, baik dalam komunitas elite politik, akademisi, pengusaha, dan oleh sebab ketidakberdayaannya, suara mengenai kemiskinan dari komunitas orang miskin juga nyaris tidak terdengar. Mungkin saja mereka pun sudah letih dan tertatih-tatih untuk bersuara walaupun sayup-sayup suara masih ingin mereka perdengarkan.
Sebaliknya justru suara gemuruh tabuh genderang komunitas pemburu kekayaan "materialis-kapitalis" lebih nyaring bunyinya dan menggema di seantero wilayah. Fenomena itu tidak baik dan harus dilenyapkan. Disparitas ekonomi tidak perlu terjadi. Karena perbedaan sosial ekonomi harus menjadi pertautan abadi, saling melengkapi, dan dibungkus dalam determinan kedamaian dan kesejahteraan yang merata dan berkeadilan. Inilah pekerjaan besar sebuah bangsa.
Isu kemiskinan memang sering menjadi primadona. Apalagi saat-saat berlangsungnya pergelaran pentas demokrasi dalam rangka pemilihan wakil-wakil rakyat dan kursi-kursi jabatan publik. Ketika itu, isu kemiskinan tidak lebih hanya dijadikan sebagai komoditas politik belaka, diperjualbelikan di antara berbagai kepentingan transaksi. Sudah tentu tidak menafikan, tidak sedikit pula yang punya komitmen besar dalam menyua¬rakan lonceng kemiskinan itu secara positif.
Kini kemiskinan menjadi masalah global manakala sebagian besar "orang" merasakan dahsyatnya dampak yang ditimbulkan oleh kemiskinan. Berbagai kegiatan dan tindakan represif timbul sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kemiskinan. Balada kemiskinan telah membuat ketenteraman dan kedamaian hidup mereka terusik. Bersamaan dengan itu baru mereka menyadari bahwa kemiskinan bukanlah masalah yang sepele melainkan suatu genre hakiki kemanusiaan yang teramat perlu dientaskan dan disentuh.
Dalam abad ini, bangsa-bangsa mulai memaknai arti kemiskinan. Sebab agenda kemiskinan sudah menjadi agenda utama bangsa-bangsa di dunia. Semua negara yang punya nurani tentu akan mendorong isu pengentasan kemiskinan menjadi suatu gebrakan besar yang lebih fokus sebagai wahana mengejewantahkan keseriusan kolektif dalam mereduksi jumlah orang miskin.
Tidak satu pun negara yang selama ini mengusung pesan-pesan ketenteraman dan kedamaian di dalam berbagai perhelatan internasional ingin "orang-orang"-nya semakin terpukau hanya karena parade kemasan retorika yang menyusup ke dalam pola pikir bahwa kesejahteraan ekonomi secara linear dapat diwujudkan dengan slogan-slogan stabilitas dan perubahan fundamentalis yang tidak jelas. Sebab stabilitas saja tidak cukup, pelajaran untuk itu sudah lama kita terima. Jadi harus ada kontrak baru yang mengalir deras di semua lini kehidupan, semua tingkatan sosial dalam suatu gebrakan besar yang mengglobal untuk mengentaskan kemiskinan.
Di Indonesia, masalah kemiskinan sudah sangat melekat dan telah menjadi determinan utama di dalam kehidupan bangsa hari ini dan masa akan datang. Lihat saja data penduduk miskin tahun 2000 sudah mencapai 19,14% meskipun menurun sedikit menjadi 17,42% di tahun 2003. Tapi tahukah kita kalau angka persentase penduduk miskin itu ternyata sama dengan 37,4 juta penduduk miskin. Artinya di antara kita terdapat 37,4 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia yang masih hidup dalam kondisi miskin. Sementara pendapatan per kapita rata-rata per tahun diperkirakan baru mencapai 1.000 dolar AS.
Kalau diasumsikan satu dolar AS adalah Rp 9.000, maka pendapatan per kapita rata-rata per tahun orang Indonesia hanya sebesar Rp 9.000.000,00 atau sebesar Rp 750.000,00 per bulan. Dengan kata lain setiap orang katakanlah seorang kepala keluarga setiap harinya hanya membawa pulang uang mata pencahariannya ke rumah sebesar Rp 25.000,00 per hari, dan bilamana ia harus menanggung biaya untuk empat orang yang terdiri dari dirinya, istri, dan dua anaknya maka setiap orang Indonesia hanya memiliki uang sebesar Rp 6.250,00.
Tentu mencengangkan, apa bisa dengan uang Rp 6. 250,00 setiap anggota keluarga dapat mengalokasikan pengeluarannya sehari-hari terutama untuk pengeluaran kebutuhan pokok atau primer. Namun inilah realitas hidup hari ini kalau ditinjau dari sisi pendapatan per kapita rata-rata per tahun. Demikian miskinkah kita? Tunggu dulu.
Kemiskinan seringkali bermakna ganda yaitu apakah miskin yang dikenal merupakan kemiskinan absolut atau kemiskinan relatif. Michael P. Todaro dalam Economic Development in the Third World (1989) menyatakan, "biasanya gejala kemiskinan absolut pada suatu lokasi dapat diukur dari proporsi penduduk yang hidup di bawah tingkat pendapatan minimum yang telah ditentukan (adequate standards of living)". Memakai definisi Todaro dalam konteks kemiskinan di Indonesia maka sesungguhnya pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 750.000,00 itu sebenarnya tidak digolongkan sebagai miskin jika diukur dengan pendekatan upah minimum regional (UMR) yang kini disebut UMP (upah minimum provinsi) atau UMK (upah minimum kabupaten/kota) yang rata-rata berada pada kisaran Rp 650.000,00-Rp 800.000,00 per bulan.
Namun A. Webster dalam Measures of Inequality and Development (1994) mengemukakan, "konsep kemiskinan dalam arti relative deprivation merupakan salah satu pendekatan yang sangat bersifat sosial terhadap kebutuhan manusia".
Artinya, orang dapat saja memandang kemiskinan menurut subjektivitasnya. Misalnya miskin-tidaknya seseorang bergantung pada antara lain kepemilikan atas tanah pertanian, kemampuan menyekolahkan anak, kemampuan mengadakan hajatan keluarga, kemampuan menyediakan makanan yang dikonsumsi sehari-hari, tingkat kesulitan hidup, dan kepemilikan hewan ternak dengan kondisi rumah tertentu. Dengan demikian semakin baik mutu konsumsi dan jumlah hewan ternaknya ataupun jumlah anak yang bisa di sekolahkan apalagi hingga perguruan tinggi maka ia semakin kaya, sehingga batas atau ukuran kemiskinan semakin tidak jelas.
Pada isu yang sama, Webster juga menyatakan "kemiskinan dapat didasarkan pada perkiraan pendapatan (income) yang dibutuhkan untuk membeli makanan yang cukup guna memenuhi rata-rata kebutuhan gizi bagi setiap orang dewasa dan anak-anak dalam suatu keluarga".
Dengan begitu ukuran pendapatan dapat menjadi standar apakah seseorang digolongkan miskin atau tidak sebab dengan pendapatan tertentu jika ia mampu mengonsumsi sejumlah 2.500 kalori yang berasal dari makanan yang dikonsumsinya maka ia pun tidak digolongkan sebagai orang miskin.
Jadi apa sesungguhnya yang menjadi dasar pertimbangan menggolongkan orang miskin atau tidak? Sebaiknya sebagai perbandingan kita menengok ke belakang ketika krisis ekonomi melanda perekonomian bangsa. Di mana-mana terjadi pemutusan hubungan kerja, banyak pengangguran, banyak anak putus sekolah, anak kekurangan gizi, akan terjadi zero generation di masa akan datang, berikutnya sebagian besar orang yang mengatakan kita sekarang sudah menjadi negara miskin (poor countries).
Tidak sedikit dari bagian terbesar dari kita yang mengatakan seperti itu dengan mengusung berbagai argumen. Tapi sadarkah kita semestinya bukanlah krisis ekonomi yang kita vonis, namun adakah kita menyadari seberapa besar sebenarnya kualitas kesejahteraan yang diberikan kepada anak-anak bangsa selama ini.
Ketika krisis ekonomi sedang berada di posisi titik akumulasi yang tinggi, nyaris tak ada koran yang memberitakan orang kelaparan disebabkan oleh krisis ekonomi. Hal itu merupakan kemusykilan sebab orang pasti berupaya maksimal mendapatkan pekerjaan untuk menafkahi hidupnya dan anggota keluarganya meskipun tidak lagi bekerja di sektor formal. Dalam masa krisis ekonomi menjadi suatu hal yang logis jika masyarakat melakukan penyesuaian-penyesuaian atas jenis pekerjaannya. Terpenting bagi mereka adalah menciptakan pendapatan demi mempertahankan hidup.
Sebaliknya dalam kondisi lain, dengan kasat mata kita dapat melihat betapa krisis ekonomi menyebabkan kesejahteraan banyak orang menurun. Hal itu disebabkan penurunan pendapatan yang berdampak pada terjadinya penurunan konsumsi primer. Pengurangan jumlah makanan yang dikonsumsi dan pengeluaran lainnnya merupakan sesuatu yang lumrah dan keterpaksaan.
Dengan sekaligus membantah pendapat A. Webster, sesungguhnya kemiskinan bukan diukur dari pendapatan atau tingginya angka pengangguran atau tidak bekerja sama sekali. Sebab orang yang bekerja bukan berarti dia tidak miskin. Orang yang berpendapatan Rp 750.000,00/bulan bisa saja memenuhi kebutuhan minimalnya berupa pembelian beras, makanan berprotein dan bergizi, membayar biaya sekolah, sanitasi dan air bersih, membeli obat-obatan, sampai kepada kepemilikan rumah dengan standar sehat. Tetapi sejahterakah mereka?
Belum tentu, sebab dengan pendapatan sebesar itu mereka tidak dapat menghindar dari keterbatasan untuk membeli jumlah kebutuhan pokok minimal mereka. Misalnya, mereka mampu membayar biaya sekolah anaknya tapi hanya sampai pada sekolah dasar. Padahal agar anak punya keterampilan memadai dalam memasuki pasar kerja setidaknya mereka harus tamat sekolah lanjutan tingkat atas. Artinya mereka belum mencapai derajat kesejahteraan. Demikian halnya dengan mengonsumsi makanan. Tidak hanya sekadar mengenyangkan.
Oleh sebab itu jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 37,4 juta jiwa, sesungguhnya merupakan komunitas penduduk miskin yang tidak mampu dalam mencapai tingkat kesejahteraan minimal. Dalam artian kemiskinan sesungguhnya lebih semakin jelas bilamana dilihat dari penglihatan seberapa besar kemampuan seseorang mencapai kesejahteraannya.
Batasan kesejahteraan masih banyak diperdebatkan. Terlalu banyak batas-batas kesejahteraan yang telah dikemukakan para ahli. Namun secara umum kesejahteraan dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Tapi definisi kesejahteraan dapat juga merupakan tingkat aksesibilitas seseorang dalam kepemilikan faktor-faktor produksi yang dapat ia manfaatkan dalam suatu proses produksi dan ia memperoleh imbalan bayaran (compensations) dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Semakin tinggi seseorang mampu meningkatkan pemakaian faktor-faktor produksi yang ia kuasai maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Demikian pula sebaliknya, orang menjadi miskin karena tidak punya akses yang luas dalam memiliki faktor-faktor produksi walaupun faktor produksi itu adalah dirinya sendiri. Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terlepas di mana pun diletakkan.
Sebenarnya faktor apa yang menjadi penyebab orang tidak mampu mendapatkan kesejahteraan sehingga ia harus miskin? Seorang sosiolog UGM Dr. Lukman Soetrisno menyatakan, "dalam pandangan agrarian populist, negara menjadi penyebab utama kemiskinan, sedangkan berdasarkan pandangan masalah budaya di mana orang menjadi miskin karena mereka tidak memiliki etos kerja yang tinggi, jiwa wiraswasta, dan rendahnya pendidikan" ("Prisma" No. 10/1995).
Menyimak pendapat Lukman, maka seyogianyalah penyelenggara negara mengambil peran utama memfasilitasi dan meregulasi sejumlah kebijakan dan program-program pembangunan yang membuka seluas-luasnya aksesibilitas setiap warga untuk mendapatkan faktor-faktor produksi dengan imbalan kompensasi yang meningkat. Jadi tidak ada entry barrier bagi siapa pun dalam kepemilikan faktor-faktor produksi, yang ada adalah abilility to achieve a politically acceptable potential living standard. Akan menjadi lebih lengkap bilamana pemerintah bersama-sama lembaga-lembaga intermediasi berperan aktif dalam turut serta meningkatkan etos kerja para kepala keluarga, mengembangkan jiwa entrepreneurship (wiraswasta), dan mengemas program-program pendidikan yang terjangkau.

KRISIS MONETER INDONESIA

KRISIS moneter Indonesia disebabkan oleh dan berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengambangkan mata uang Thailand ?Bath? terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari ?Bath? ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.
Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas ?band? pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim ?band? tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi ?13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.
Sampai sekarang, sudah lima tahun, pemulihan pertumbuhan ekonomi belum mencapai tingkat pra-krisis (tahun 1996/97).
Mengapa?

Selama dekade sebelum krisis, Ekonomi Indonesia bertumbuh sangat pesat. Pendapatan per kapita meningkat menjadi 2x lipat antara 1990 dan 1997. Perkembangan ini didukung oleh suatu kebijakan moneter yang stabil, dengan tingkat inflasi dan bunga yang rendah, dengan tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, dengan APBN yang Berimbang, kebijakan Ekspor yang terdiversifikasi (tidak saja tergantung pada Migas), dengan kebijakan Neraca Modal yang liberal, baik bagi modal yang masuk maupun yang keluar. Kesuksesan ini menimbulkan di satu pihak suatu optimisme yang luar biasa dan di lain pihak keteledoran yang tidak tanggung-tanggung. Suatu optimisme yang mendorong kebijakan-kebijakan ekonomi dan tingkat laku para pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, sepertinya lepas kendali. Kesuksesan Pembangunan Ekonomi Indonesia demikian memukau para kreditor luar negeri yang menyediakan kredit tanpa batas dan juga tanpa meneliti proyek-proyek yang diberi kredit itu. Keteledoran ini juga terjadi dalam negeri. Dimana kegiatan-kegiatan ekonomi dan para pelakunya berlangsung tanpa pengawasan dan tidak dilihat ?cost benefit? secara cermat. Kredit jangka pendek diinvestasikan ke dalam proyek-proyek jangka panjang. Didorong oleh optimisme dan keteledoran ini ekonomi didorong bertumbuh diatas kemampuannya sendiri (?bubble economics?), sehingga waktu datang tekanan-tekanan moneter, Pertumbuhan itu ambruk!

Sementara itu terjadi pula suatu perombakan yang drastis dalam strategi Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Ekonomi yang selama ini adalah ?State? dan ?Government-led? beralih menjadi ?led by private initiatives and market?. Hutang Pemerintah/Resmi/Negara turun dari USD. 80 milyar menjadi USD. 50 milyar di akhir tahun 1996, sementara Hutang Swasta membumbung dengan cepatnya. Jika di tahun 1996 Hutang Swasta masih berada pada tingkat USD. 15 milyar, maka di akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD. 65 milyar ? USD. 75 milyar.

Proses Swastanisasi/Privatisasi dari pelaku utama Pembangunan berlangsung melalui proses liberalisasi dengan mekanisme Deregulasi diliputi visi dan semangat liberal. Dalam waktu sangat singkat bertebaran bank-bank Swasta di seluruh tanah air dan bertaburan Korporasi-Korporasi Swasta yang memperoleh fasilitas-fasilitas tak terbatas. Proses Swastanisasi ini berlangsung tanpa kendali dan penuh KKN. Maka ketika diserang krisis mata uang, sikonnya belum siap dan masih penuh kerapuhan-kerapuhan, terlebih dunia Perbankan dan Korporasi. Maka runtuhlah bangunan modern dalam tubuh Ekonomi Bangsa. Dan kerapuhan ini ternyata adalah sangat mendalam dan meluas, sehingga tindakan-tindakan penyehatan-penyehatan seperti injeksi modal oleh Pemerintah, upaya-upaya rekapitalisasi, restrukturisasi Perbankan dan Korporasi-Korporasi sepertinya tidak mempan selama dan sesudah 5 tahun ini. Sektor Finansial dan Korporasi masih tetap terpuruk. Rapuhnya sektor-sektor modern ini adalah dalam hal organisasi, manajemen, dan mental orang-orang/para pelakunya, dalam hal bisnis serta akhlak dan moral. Suatu kerapuhan total dan secara institusional pula!

Apa implikasi dari runtuhnya sektor modern dari bangunan ekonomi kita ini? Peningkatan Pengangguran, Peningkatan Kemiskinan dan Hutang Nasional. Dan hal-hal ini langsung mengena pada nasib ekonomi Rakyat kita.

Namun akibat-akibat negatif ini dihadapi rakyat banyak dengan suatu Resistensi dan Kreativitas Ekonomi yang militan. Sektor tradisional yang selama ini dianggap sebagai sektor yang tidak penting/prioritas, malahan dianggap sebagai penghambat dari pertumbuhan Ekonomi, bukan saja menampung reruntuhan-reruntuhan dari ambruknya sektor modern, namun juga memainkan peran sebagai pengganti dari peranan sektor modern yang ambruk itu. Dan yang mengesankan adalah peran dari asas kekeluargaan. Mereka yang di-PHK-kan ditampung dalam sektor tradisional dan sektor informal dan merupakan bagian dari Resistensi Ekonomi Rakyat dalam krisis ini.

Maka para pakar/pengamat yang selama ini meragukan berfungsinya asas kekeluargaan seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD-45, itu perlu ?pulang kampung? untuk melihat dan mengalami bahwa asas kekeluargaan itu betul-betul hidup di kalangan masyarakat dan sungguh-sungguh merupakan asas solidaritas yang berfungsi dalam kehidupan ekonomi rakyat.
Resistensi, kreativitas ekonomi rakyat, produktivitas sektor tradisional dan berfungsinya asas kekeluargaan, merupakan kekuatan ekonomi yang riil yang telah mampu menahan kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh krisis itu, dan malahan telah mampu pula mengangkat pertumbuhan ekonomi kembali pada permukaan pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan +13,7% dengan tercapainya tingkat +0% di tahun 1999, dilanjutkan dengan pertumbuhan +4,8% di tahun 2000, yang hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi pra krisis (1997, +4,9%). Tentu tidak semuanya oleh Ekonomi Rakyat. Dalam bahasa resmi Ekonomi, pemulihan ekonomi selama 2 tahun itu disebabkan oleh peningkatan ekspor (non Migas), oleh investasi dan konsumsi. Dalam hal ekspor dan konsumsi, peranan ekonomi Rakyat adalah menonjol. Dalam hal ekspor, cukup berperan ekspor hasil Perkebunan rakyat, sehingga di Manado yang unggul dalam hal cengkeh itu ? ?dia orang bilang, di Jakarta resesi, di Manado resepsi, no!?. Juga dalam hal konsumsi yang kecuali dipenuhi oleh import, juga oleh produksi dalam negeri, hasil kegiatan rakyat.

Masalahnya adalah mengapa ekonomi Nasional jatuhnya begitu dalam, dalam setahun, tetapi juga dapat cepat pulih dalam 2 tahun berikutnya. Jatuhnya demikian dalam di tahun 1998, menunjukkan betapa rapuhnya dan paniknya sektor Finansial dan Korporasi, alias sektor modern dari bangunan ekonomi kita. Dan seperti telah dikatakan, begitu rapuhnya sehingga dengan segala ?inset? dari modal, energi dan konsentrasi sampai sekarang sektor ini belum dapat berfungsi kembali normal. Dan cepat kembalinya pemulihan ekonomi selama dua tahun berikutnya dikatakan adalah berkat ekonomi Rakyat. Apakah hanya karena itu saja? Tentu tidak hanya itu saja. Faktor kepercayaan pada programa ekonomi Pemerintah dalam kerjasama dengan IMF dan hilangnya panik ekonomi turut bermain peran. Namun secara riil, peran ekonomi Rakyat seperti yang telah digambarkan itu memang besar!
Tetapi antara ekonomi Rakyat/Ekonomi Tradisional dan Ekonomi Modern tidak perlu diadakan dikhotomi. ?Dual economy? nya Prof. Boeke, adalah suatu kenyataan dan merupakan dua kekuatan ekonomi yang perlu diintegrasikan menjadi sokoguru dari bangunan ekonomi Nasional yang modern.
Krisis Ekonomi yang kita alami dewasa ini menunjukkan bahwa keserakahan sektor modern akan kredit, fasilitas dan perluasan kegiatan, dan kurang adanya Pengawasan, adanya KKN, itulah yang telah menjerumuskan Ekonomi bangsa ke dalam keterpurukan yang berkelanjutan ini.
Disebabkan oleh Politik Isolasi Nasional dan menumpuknya Defisit APBN dari tahun ke tahun sedari tahun 50-an dan selama penggalan pertama tahun 1960-an, maka di tahun 1965-66 terjadi suatu krisis ekonomi Nasional yang merisaukan, yang telah menumbangkan ORDE LAMA (Demokrasi Terpimpin) dan dibentuknya ORDE BARU.

Pemerintah/Negara mengambil peran untuk keluar dari krisis tersebut, malahan melanjutkan perannya sebagai Pelaku Utama Pembangunan sesudah krisis itu. Sehingga Pembangunan selama itu disebut ?Government/State led development?. Hal ini terjadi bukan karena ideology (Sosialisme) melainkan karena kondisi pragmatis, dimana pada waktu itu tidak ada perusahaan Swasta, dan kalau ada berada dalam kondisi sangat lemah.
Dibawah Pimpinan Negara/Pemerintah, maka Pembangunan dan peningkatan pendapatan Nasional dan per kapita maju pesat. Jika era Demokrasi Terpimpin sebelumnya adalah era dimana Politik menjadi Panglima (upaya pembentukan dari suatu Sistim Politik Nasional) maka era ORBA dapat dinamakan sebagai era dimana Ekonomi menjadi Panglima (dan upaya-upaya untuk membentuk suatu Sistim Ekonomi Nasional).

Di tahun 1980-an, didesak oleh kebutuhan akan modal, efisiensi, dan teknologi yang lebih meningkat untuk menjaga agar Pembangunan Ekonomi berkelanjutan mantap meningkat, dan di bawah pengaruh globalisasi, maka terjadi proses Swastanisasi dari Pembangunan. Proses tersebut ditandai oleh suatu proses Liberalisasi dan mekanismenya adalah Deregulasi/Ekonomi.
Masalahnya adalah mengapa pada waktu itu proses Deregulasi tidak diarahkan langsung kepada Ekonomi Rakyat. Ada keraguan di kalangan Pemerintah pada waktu itu terhadap kemampuan Ekonomi Rakyat sebagai penggerak utama dari roda Pembangunan.

Ekonomi Rakyat masih perlu diberdayakan, dan pemberdayaan itu dilakukan melalui ?link and match? dengan sektor Swasta. Melalui pemberdayaan sektor Swasta maka diharapkan/dianggap Ekonomi Rakyat akan pula dapat diberdayakan. Jika Pembangunan selama ini adalah ?top down? maka proses ini tidak langsung beralih ke sistim ?bottom up?, namun melalui sistim (peng)antara ?middle down? dan ?middle up?. Kita tahu apa yang telah terjadi. Bukan proses ?memberdayakan?, melainkan proses ?memperdayakan?. ?Up? dan ?down? diperdayakan oleh si ?middle?. Maka terjadilah krisis ekonomi yang berkelanjutan ini.
Masalahnya sekarang adalah, apakah dalam kondisi krisis dewasa ini, sudah tiba waktunya kita beralih ke Ekonomi Rakyat, melihat peran ekonomi rakyat selama krisis ini seperti yang telah diuraikan itu. Memang ideal, jika bisa begitu. Namun sesuatu yang ideal, tidak lalu harus diidealisasikan, Makna dari suatu ideal adalah bukan sekedar pada idealismenya, namun pada kemampuan untuk merealisasikan apa yang dianggap ideal itu.
Telah dikemukakan bahwa kemampuan Resistensi Ekonomi Rakyat adalah pada tingkat ?subsistence economy?. Ekonomi Rakyat adalah pula ekonomi ?from hand to mouth?. Apa yang dihasilkan, dihabiskan! Tidak ada kelebihan untuk melanjutkan dan mendinamisasikan kegiatan. Jika hal itu diperlukan maka dilaksanakan melalui hutang. Sebab itu peran ?lintah darat? besar dalam ekonomi Rakyat.
Ini semua dikemukakan tidak dengan maksud untuk memojokkan ekonomi Rakyat, namun untuk mengungkapkan kenyataan yang dihadapi yang perlu diperbaiki agar tugas Nasional yang diserahkan kepada Ekonomi Rakyat dapat terlaksana dengan baik dan penuh prospek dan perspektif. Apa tugas Nasional itu? Mengatasi Pengangguran, mengatasi Kemiskinan, mengatasi Hutang. Ketiga target ini memang mengena pada kepentingan ekonomi Rakyat! Suatu tantangan bagi ekonomi Rakyat! Menghadapi tugas besar/tugas nasional ini, para pelaku ekonomi Rakyat perlu di?upgrade?.

Disamping tugas besar Nasional yang berjangka itu, ada pula tugas Nasional yang mendesak! Dewasa ini, terlebih sesudah kejadian 11 September 2001 di Amerika Serikat, kita mengalami kemerosotan investasi dan eksport termasuk Pariwisata. Dalam bahasa ekonominya adalah bahwa kita mengalami kemerosotan dari ?external demand?. Kondisi ini perlu diimbangi dengan menciptakan/mengaktifkan ?domestic demand? yakni ?demand? akan investasi dan konsumsi. Potensi untuk itu ada di dalam Negeri karena masih cukup pendapatan dalam negeri dan simpanan dalam negeri yang tersembunyi dan terpendam. Memang ada pendapatan dan simpanan dalam negeri yang lari keluar, tetapi sebagian besar masih ?berkeliaran? di dalam negeri. Mereka tidak menjadi efektif (?effective demand?) antara lain karena ketidakpastian hukum dan keamanan. Maka dari itu programa hukum dan kesesuaian harus menunjukkan prioritas bagi Pemerintah. (Hukum dan keamanan ini juga dituntut oleh para investor asing!). Penciptaan dari ?domestic demand? ini mungkin, karena pasar dalam negeri yang besar dan luas. Nah, dalam kontekst ini peran ekonomi Rakyat dapat difokuskan, di?upgrade? dan ditingkatkan.
Hanya jangan dikira jika semua rakyat sudah menjadi Subyek Ekonomi, maka dengan sendirinya Kesejahteraan Rakyat tercapai. Seperti halnya dalam bidang moral dan agama. Jangan disangka jika setiap anggota masyarakat itu bermoral tinggi dan sungguh-sungguh menghayati agamanya, maka masyarakat dengan sendirinya bermoral dan beragama. Diperlukan suatu Institusi dan pendekatan secara Institusional.

Selama ini kita telah bicara banyak mengenai Ekonomi Rakyat dan Ekonomi Kerakyatan. Apa itu? Ekonomi Rakyat mempunyai dua aspek integral. Aspek orientasi kepada kepentingan rakyat banyak dan aspek rakyat sebagai Subyek dalam Ekonomi Negara. Dalam hal Ekonomi Kerakyatan maka jelas orientasinya pada kepentingan ekonomi Rakyat banyak, namun tidak selamanya rakyat harus menjadi Subyek Ekonomi. Dalam hal Ekonomi Rakyat, maka baik orientasi pada kepentingan dalam ekonomi, maupun Subyek dalam ekonomi adalah rakyat. Hanya seperti telah diuraikan itu, perlu diingat, bahwa kalaupun Rakyat sudah menjadi Subyek Ekonomi, maka tidak dengan sendirinya kesejahteraan Nasional tercapai. Sebab kesejahteraan Nasional bukanlah somasi/jumlah dari kepentingan masing-masing rakyat. Diperlukan suatu Institusi yang mengarahkan kepada kepentingan rakyat dan kesejahteraan Nasional. Diharapkan bahwa Institusi yang demikian itu adalah antara lain Pemerintah dan Parlemen.

Rakyat sebagai Subyek Ekonomi seperti halnya dengan Korporasi-Korporasi besar/maju, memerlukan perlindungan/kepastian Hukum dan iklim usaha, memerlukan akses ke modal, teknologi dan Pasar. Hal-hal ini perlu diciptakan oleh Institusi itu.

Masalah ini perlu ditekankan melihat pengalaman-pengalaman dari usaha-usaha rakyat kecil di kota-kota yang lazim dinamakan Kaki Lima yang dikejar-kejar itu. Mereka dianggap sebagai ?underground economics?, pengganggu ketertiban umum, sebagai usaha yang ?inferior?. (Sementara menurut suatu penelitian, mereka sehari dapat memperoleh antara Rp. 10.000 - Rp. 20.000, melebihi pendapatan orang yang sama di sektor formal). Dilupakan bahwa mereka memenuhi kebutuhan masyarakat. Disitulah letak fungsi ekonomi mereka. Mereka perlu dibimbing, diberi pendidikan, penjelasan-penjelasan dan insentip-insentip. Mereka perlu diberi pengertian bahwa untuk berusaha secara berkelanjutan diperlukan tertib usaha. Untuk menjamin tertib usaha, mereka tidak boleh mengganggu ketertiban umum dan harus tunduk pada peraturan (hukum) umum! Pengertian yang diperlukan, bukan penggusuran!

Pemberdayaan ekonomi Rakyat dewasa ini diperlukan pula untuk membina kader-kader Pelaku Ekonomi Generasi baru menggantikan Generasi Pelaku Ekonomi yang sudah tumbang ini. Mereka sendiri tadinya juga berasal dari usaha ekonomi rakyat, usaha/pedagang kecil dan menengah. Namun suatu Generasi Pelaku Ekonomi Nasional yang bersih, tidak dimanjakan dengan subsidi, proteksi dan fasilitas, apalagi dengan KKN, tangguh mental dan professional dalam berusaha.

Ini berarti pula perlu dikembangkan suatu sistim mobilitas vertikal secara sehat dan mandiri dalam masyarakat dunia usaha! Dewasa ini hal ini diblokir oleh tidak selesai-selesainya proses penyehatan Perbankan dan Korporasi.
Kembali kepada masalah Krisis Moneter dan Pemulihan kembali Ekonomi Nasional. Telah dikemukakan betapa terpuruknya Ekonomi kita dan betapa rapuhnya sektor modern kita, terlebih sektor Finansial dan Korporasi. Dengan segala upaya dan energi serta bantuan luar negeri, kita belum saja melihat titik terang. Lima (5) tahun krisis ekonomi adalah sudah terlalu panjang dan karena sifatnya multidimensional maka ia dapat menggerogoti secara meluas dan mendalam sendi-sendi kita hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Jika hal ini dikaitkan dengan bahaya-bahaya proses desintegrasi sosial, regional dan nasional maka krisis ekonomi yang berkepanjangan ini dapat membawa Bangsa, Negara dan Masyarakat kita kepada kehancuran total. Maka dari itu krisis ini perlu segera diatasi!
Dalam hal ini kita berhadapan dengan suatu Dilema Fundamental yang ?persistent? sekali. Dilemanya adalah di satu pihak ada tuntutan untuk penyelesaian dulu semua kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu, baru melangkah maju, di lain pihak ada urgensi, kita maju ke depan (termasuk upaya penyelesaian krisis), dan sambil berjalan ke depan kita secara selektif menyelesaikan kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu.

Untuk mengatasi Dilema Fundamental ini diperlukan suatu Konsensus Politik secara Nasional, yang berfokus pada pilihan politik untuk me-Rekonsiliasikan keperluan penyelesaian secara tuntas masalah-masalah dari masa lalu dengan kepentingan bangsa dan Negara untuk maju ke depan dan yang didukung oleh semua pihak. Dengan adanya Konsensus Politik secara Nasional itu, barulah kita dapat menyusun suatu Programa Nasional untuk cepat keluar dari krisis dan mulai memulihkan kembali Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang mampu memberantas Pengangguran, Kemiskinan, Kebodohan, dan Hutang Nasional. Sebab disitulah letak kepentingan mendesak dari ekonomi rakyat kita, Hic et nunc!

Drs. Frans Seda : Penasehat Ekonomi Pemerintah, mantan Menteri Keuangan

Minimnya Tingkat Kualitas SDM Indonesia

a. Tingkat pendapatan rendah

Berkat hasil-hasil pembangunan pendapatan perkapita penduduk Indonesia mengalami kenaikan. Tahun 1981 pendapatan perkapita sebesar 530 dollar AS, tahun 1990 sebesar 540 dollar AS, tahun 1996 sebesar 1.041 dollar AS dan tahun 1999 menjadi 1.110 dollar AS.
Walaupun mengalami kenaikan ternyata pendatapan perkapita penduduk Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Perhatikan tabel berikut ini!
Tabel 9. Pendapatan Perkapita beberapa Negara Tahun 1990 - 1999.

Dengan pendapatan perkapita yang masih rendah berakibat penduduk tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, sehingga sulit mencapai manusia yang sejahtera.
Pendapatan per kapita rendah juga berakibat kemampuan membeli (daya beli) masyarakat rendah, sehingga hasil-hasil industri harus disesuaikan jenis dan harganya. Bila industri terlalu mahal tidak akan terbeli oleh masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan industri sulit berkembang dan mutu hasil industri sulit ditingkatkan.
Penduduk yang mempunyai pendapatan perkapita rendah juga mengakibatkan kemampuan menabung menjadi rendah.
Bila kemampuan menabung rendah, pembentukan modal menjadi lambat, sehingga jalannya pembangunan menjadi tidak lancar.
Untuk itu perlu dicari pinjaman modal dari negara lain untuk membiayai pembangunan.
Masih rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia, terutama disebabkan oleh:
• Pendapatan/penghasilan negara masih rendah, walaupun Indonesia kaya sumber daya alam tetapi belum mampu diolah semua untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.
• Jumlah penduduk yang besar dan pertambahan yang cukup tinggi setiap tahunnya.
• Tingkat teknologi penduduk masih rendah sehingga belum mampu mengolah semua sumber daya alam yang tersedia.
Oleh karena itu upaya menaikan pendapatan perkapita, pemerintah melakukan usaha:
1. Meningkatkan pengolahan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada.
2. Meningkatkan kemampuan bidang teknologi agar mampu mengolah sendiri sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia.
3. Memperkecil pertambahan penduduk diantaranya dengan penggalakan program KB dan peningkatan pendidikan.
4. Memperbanyak hasil produksi baik produksi pertanian, pertambangan, perindustrian, perdagangan maupun fasilitas jasa (pelayanan)
5. Memperluas lapangan kerja agar jumlah pengangguran tiap tahun selalu berkurang.
b. Tingkat Pendidikan Rendah

Walaupun bangsa Indonesia telah berusaha keras untuk meningkatkan tingkat pendidikan namun karena banyaknya hambatan yang dialami maka hingga saat ini tingkat pendidikan bangsa Indonesia masih tergolong rendah.
Sebagian besar penduduk hanya mampu menamatkan SD. Untuk mengetahui perbandingan persentase pendidikan penduduk Indonesia, perhatikan tabel berikut ini!
Tabel 10. Prosentase penduduk yang menamatkan sekolah.

Beberapa faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan penduduk Indonesia adalah:
1. Pendapatan perkapita penduduk rendah, sehingga orang tua/penduduk tidak mampu sekolah atau berhenti sekolah sebelum tamat.
2. Ketidakseimbangan antara jumlah murid dengan sarana pendidikan yang ada seperti jumlah kelas, guru dan buku-buku pelajaran. Ini berakibat tidak semua anak usia sekolah tertampung belajar di sekolah.
3. Masih rendahnya kesadaran penduduk terhadap pentingnya pendidikan, sehingga banyak orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya.

Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi masalah pendidikan. Usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia yaitu:
• Menambah jumlah sekolah dari tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi.
• Menambah jumlah guru (tenaga kependidikan) di semua jenjang pendidikan.
• Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang telah dimulai tahun ajaran 1994/1995.
• Pemberian bea siswa kepada pelajar dari keluarga tidak mampu tetapi berprestasi di sekolahnya.
• Membangun perpustakaan dan laboratorium di sekolah-sekolah.
• Menambah sarana pendidikan seperti alat ketrampilan dan olah raga.
• Meningkatkan pengetahuan para pendidik (guru/dosen) dengan penataran dan pelatihan.
• Penyempurnaan kurikulum sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
• Menggalakkan partisipasi pihak swasta untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan ketrampilan.
Perlu Anda ketahui bahwa tanggung jawab terhadap keberhasilan peningkatan pendidikan penduduk terletak di 3 komponen yaitu orang tua, masyarakat, dan pemerintah.


c. Tingkat Kesehatan Rendah

Faktor-faktor yang dapat menggambarkan masih rendahnya tingkat kesehatan di Indonesia adalah:
1. Banyaknya lingkungan yang kurang sehat.
2. Penyakit menular sering berjangkit.
3. Gejala kekurangan gizi sering dialami penduduk.
4. Angka kematian bayi tahun 1980 sebesar 108 per 1000 bayi dan tahun 1990 sebesar 71 per 1000 kelahiran bayi.
Masalah gizi yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah:
- kekurangan vitamin A
- kekurangan kalori protein
- kekurangan zat besi
- gondok
Usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan penduduk Indonesia yaitu:
1. Melaksanakan program perbaikan gizi.
2. Perbaikan lingkungan hidup dengan cara mengubah perilaku sehat penduduk, serta melengkapi sarana dan prasarana kesehatan.
3. Penambahan jumlah tenaga medis seperti dokter, bidan, dan perawat.
4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
5. Pembangunan Puskesmas dan rumah sakit.
6. Pemberian penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
7. Penyediaan air bersih.
8. Pembentukan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), kegiatan posyandu meliputi:
- Penimbangan bayi secara berkala
- Imunisasi bayi/balita
- Pemberian makanan tambahan
- Penggunaan garam oralit
- Keluarga berencana
- Peningkatan pendapatan wanita
9. B. Hubungan Pendapatan Nasional, Penduduk dan Pendapatan Perkapita
10. Pendapatan nasional pada dasarnya merupakan kumpulan pendapatan masyarakat suatu negara. Tinggi rendahnya pendapatan nasional akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita negara yang bersangkutan. Akan tetapi, banyak sedikitnya jumlah penduduk pun akan mempengaruhi jumlah pendapatan per kapita suatu negara.

Untuk lebih memperjelas, perhatikan tabel di bawah ini!

11. Dari tabel 1.1 di atas, nampak jelas bahwa India yang memiliki PDB per tahun US $ 427.407.000.000,00 hanya mendapatkan pendapatan per kapita US $ 440,00. Lain halnya dengan Singapura yang mendapatkan PDB per tahun US $ 95.453.000.000,00 ternyata pendapatan per kapitanya US $ 30.170,00. Mengapa demikian?
12. Ternyata tingginya pendapatan nasional suatu negara, tidak menjamin pendapatan per kapitanya juga tinggi. Hal ini terjadi karena faktor jumlah penduduk juga sangat menentukan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.
13. Bank Dunia (World Bank) telah mengelompokkan negara-negara menjadi 5 kelompok berdasarkan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.
1. Kelompok Negara Berpendapatan Rendah (Low Income Economies), yaitu negara-negara yang memiliki PNB per kapita US $ 520,00 atau kurang.
2. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah Bawah (Lower – Middle Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 521,00 sampai US $ 1.740,00.
3. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah (Middle Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 1.741,00 sampai US $ 2.990,00.
4. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah Tinggi (Upper – Middle Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 2.991,00 sampai US $ 4.870,00.
5. Kelompok Negara Berpendapatan Tinggi (High Income Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 4.871,00 sampai US $ 25.480,00 bahkan lebih.
14. Jika sampai tahun 1999 pendapatan per kapita Indonesia sebesar US $ 640,00, berdasarkan pengelompokkan Bank Dunia tersebut, Indonesia termasuk kelompok negara mana? Pasti Anda akan menjawab, Indonesia baru masuk ke dalam kelompok negara yang berpendapatan menengah bawah.
15. Kapankah Indonesia akan masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi? Jawabannya tentu kembali kepada usaha bangsa Indonesia untuk senantiasa meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dan dalam menyukseskan program keluarga berencana. Sebab, hanya manusia yang berkualitas yang bisa menghasilkan produk (barang dan jasa) yang berkualitas dalam jumlah yang banyak, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan nasional. Kemudian, laju pertumbuhan penduduk bisa dikurangi dengan program keluarga berencana. Akibatnya pertumbuhan pendapatan nasional bisa lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk. Cara inilah yang bisa meningkatkan pendapatan per kapita.
16. Perhatikan grafik dari PNB per kapita Indonesia pada tahun 1995 – 1998 di bawah ini!
17.
18. Bila grafik di atas dianalisa, sampai tahun 1997 PDB per kapita Indonesia mengalami kenaikan, sedangkan tahun 1999 mengalami penurunan. Mengapa demikian? Pasti Anda tahu jawabannya. Pada tahun 1998, Indonesia khususnya mengalami krisis multi dimensi yang sangat hebat, dimulai dengan krisis ekonomi yang ditimbulkan krisis moneter. Akibatnya produk menurun dan akhirnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita pun ikut turun. Bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana sehingga pengangguran bertambah banyak.
BEDA
Keterbatasan sumber daya ekonomi dalam negeri mengakibatkan pemerintah harus mendatangkan sumber daya modal dari negara-negara lain. Indonesia kembali terjerat utang?
Mengatasi ketertinggalan dari negara-negara maju sangat mutlak dilakukan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Caranya dengan mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun, itu tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi, kemampuan negara-negara berkembang untuk menggerakkan roda ekonomi sangat terbatas, baik dari sisi sumber daya manusia produktif maupun sumber daya modal. Ketersediaan sumber daya modal sering menjadi kendala utama.
Belum lagi lemahnya kemampuan partisipasi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi, mengakibatkan pemerintah harus mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional. Pemerintah harus fokus dalam strategi pembangunan ekonomi untuk meningkatkan laju pertumbuhan yang relatif tinggi dari tahun ke tahun. Sebuah tuntutan yang tidak mudah.
Sebab, tidak jarang tuntutan itu melebihi kemampuan dan daya dukung pemerintah serta sumber daya ekonomidalamnegeriyangtersedia. Khususnya dalam soal daya dukung sumber daya modaltadi. Akibatnya, pemerintah harus mendatangkan sumber daya modal dari negara-negara lain yang umumnya datang dari negara-negara maju. Wujudnya bisa beragam, mulai penanaman modal asing (direct invesment), berbagai bentuk investasi portofolio (portfolio invesment) hingga pinjaman luar negeri (utang).
Tidak semuanya diberikan sebagai bantuan cuma-cuma. Ada berbagai konsekuensi, baik yang bersifat komersial maupun politis. Pada satu sisi, datangnya modal dari luar negeri tersebut dapat digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional pemerintah sehingga target pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat.
Namun, di sisi lain, diterimanya modal asing itu dapat menimbulkan berbagai masalah dalam jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan pada beberapa negara berkembang menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan, yang justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan rakyatnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan rasio jumlah utang luar negeri terhadap nominal produk domestik bruto (PDB) tahun ini mencapai 12%.
”External debt to GDP ratio tahun ini diperkirakan 12%,sementara total rasio utangnya (termasuk utang dalam negeri) mencapai 33% pada akhir 2008,” tutur Sri Mulyani. Langkah pemerintah menambah penarikan utang ibarat memakan buah simalakama. Dimakan mati ayah, jika tak dimakan mati ibu. Padahal, awal 2007 lalu pemerintah telah memutuskan hubungan ”mesra” Consultative Group on Indonesia (CGI).Tujuannya untuk mengurangi tingkat ketergantungan Indonesia.
Namun, karena keterbatasan sumber daya modal dalam negeri tadi, mau tak mau pemerintah akhirnya harus mengambil kebijakan itu. Terlebih, saat ini Indonesia harus menghadapi perlambatan ekonomi global dan krisis ekonomi Amerika Serikat. Hal ini membuat pemerintah harus ”mengutak-atik” APBN agar laju pertumbuhan tidak terjun bebas. Dalam APBN 2008, untuk pembayaran pokok utang luar negeri yang semula dianggarkan Rp59,7 triliun akhirnya direvisi menjadi Rp 61,3 triliun.
Pembayaran bunga utang sebesar Rp91,5 triliun. Total pembayaran angsuran pokok dan bunga utang keseluruhan berjumlah Rp 152,8 triliun. Nilai pengeluaran untuk membayar utang itu hampir dua kali lipat defisit APBN 2008, yang tadinya dipatok sebesar Rp 73,3 triliun. Meski begitu, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) beberapa waktu lalu mencatat, ada indikasi potensi surplus pinjaman proyek sebesar USD105 juta.
Hal ini terindikasi setelah rampungnya 11 proyek yang dibiayai sebelum berakhirnya masa pinjaman. Ke-11 proyek tersebut berasal dari lima departemen dan satu BUMN, yakni 3 proyek di Departemen Kesehatan, 2 proyek di Depdiknas, 2 proyek di Departemen Pekerjaan Umum, 2 proyek di Departemen Kelautan dan Perikanan, 1 proyek di Depdagri, serta 1 proyek di PT PLN (persero). (thomas pulungan/ faizin aslam/yani a)

Pasar Tradisional vs Pasar Modern

Pasar Tradisional vs Pasar Modern
Tak Rasional, Pasar Tradisional vs Pasar Modern
Industri retail adalah industri yang sangat strategis di Indonesia. Industri retail ini merupakan industri ke dua terbesar yang mampu menyerap tenaga kerja setelah industri pertanian. Sebagai mana kita ketahui dalam industry manapun pasti kita akan temui persaingan didalamnya, tidak terkecuali industri retail di indonesia.
Persaingan industri retail membelah industri ini menjadi dua blok besar ; yang pertama blok retail tradisional yang secara langsung diwakili oleh pedagang pasar tradisional serta warung-warung kecil di pinggir jalan dan yang ke dua adalah blok retail modern yang diwakili oleh Indomart, Alfamart, Ramayana, Carrefour dan lain sebagainya. Persaingan indusrti retail ini memang bukan hal yang baru, persaingan tersebut telah dimulai sejak tahun 1990an.
Beberapa pengamat mencatat, dari tahun ke tahun dimulai dari tahun 2000, pangsa pasar retail tradisional terus menurun karena semakin mengguritanya retail-retail modern, hal tersebut diperparah dengan adanya pergeseran kondisi sosial ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku retail modern yang pada awalnya hanya di kujungi oleh kalangan A Consumers (konsumen kelas atas), sekarang merambah ke Band Consumers (konsumen menengah dan bawah).
Beberapa kalangan menganggap bahwa dengan cara memperluas pendirian pasar modern di Indonesia, bisa berdampak makin baiknya pertumbuhan ekonomi serta iklim investasi usaha karena diasumsikan bahwa pasar modern memiliki segmen yang berbeda dengan pasar tradisional sehingga hal itu tidak menggangu stabilitas pasar tradisional. Akan tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian, justru antara pasar modern dan pasar tradisional memiliki segmen yang sama dan saling berhadap-hadapan langsung dan secara jelas menunjukan bahwa yang menjadi korban utama adalah pasar tradisional akibat dari persaingan yang sengit antar sesama pasar modern. Situasi seperti ini dapat berdampak lebih jauh lagi terhadap istilah kegagalan pasar yang akan diderita oleh pasar tradisional akibat persaingan dengan segmen yang sama serta memaksa secara langsung berhadap-hadapan antara pasar tradisional dengan pasar modern. Kegagalan pasar adalah situasi ketika pasar tidak mampu secara efektif mengorganisasikan produksi atau mengalokasikan barang dan jasa kepada konsumen. Situasi seperti ini dapat tercipta ketika kekuatan pasar telah kehilangan kemampuannya dalam memenuhi kepentingan-kepentingan publik.
Kegagalan pasar atau market failure adalah istilah dalam kontek ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan kehancuran ekonomi atau hubungan pasar. Kegagalan pasar adalah klaim yang menyatakan bahwa pasar tidak mampu menciptakan efisiensi secara maksimal. Sekali lagi, kegagalan pasar bukan berarti merupakan kehancuran atau terhentinya pasar. Robert Gilpin dalam bukunya global political economy menyoroti kegagalan pasar sebagai suatu kondisi dimana pasar gagal untuk menghasilkan baik optimalisasi ekonomi maupun manfaat sosial yang diinginkan. Secara prinsip, Gilpin mengatakan salah satu tipe kegagalan pasar adalah ketika terdapat eksternalisasi atau peluapan aktivitas ekonomi sehingga seorang aktor ekonomi menyakiti aktor ekonomi yang lainnya.
Di Indonesia pasar modern memiliki nilai yang sangat strategis mengingat pasar tradisional di Indonesia termasuk yang paling sering di kunjungi pelanggannya, tercatat sebanyak 25 kali perbulan, angka ini temasuk angka yang besar dibandingkan dengan india dan srilangka yang hanya 11 kali per bulannya dikunjungi oleh pengunjung dan Filipina hanya 14 kali perbulan. Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika ekonomi Indonesia adalah dinamika ekonomi yang secara dominan dimainkan oleh para pelaku ekonomi di tingkat grass root. Potensi ini seharusnya lebih dapat dikembangkan lagi agar kemudian perdagangan dalam negeri di Indonesia lebih kuat dan lebih efisien dalam rangka penguatan ekonomi masyarakat kecil.
Melihat peran dan fungsi pasar tradisional sangatlah strategis untuk meningkatkan pendapatan masyarakat ataupun menyerap tenaga kerja, itulah yang menjadi dasar program prioritas yang akan dikembangkan menteri perdagangan Republik Indonesia di tahun 2004-2009 adalah program peningkatan efisiensi perdagangan dalam negeri. Melihat bahwa peran pasar tradisional yang strategis tersebut pemerintah harus menempuh langkah-langkah konkret dalam upaya peningkatan daya saing pasar tradisonal yang hari ini telah identik dengan lokasi perdagangan yang kumuh. Citra pasar tradisional yang kurang baik itu haruslah mendapat penangan yang serius dari pemerintah karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembenahan pasar tradisonal untuk menjadi tempat perbelanjaan yang nyaman dan menarik dan bercitra positif adalah suatu tantangan yang cukup berat yang harus di upayakan pemerintah sebagai rasa tanggung jawab kepada publik.
Dikala mentri perdagangan Republik Indonesia memprioritaskan program peningkatan efisiensi perdagangan dalam negri yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional, justru di Kabupaten Karawang malah sebaliknya. Belum lama ini pemerintah Kabupaten Karawang melalui dinas terkait memberikan ijin kepada PT. Trias sebagai pengembang retail modern (Carrefour) yang lokasi pendirianya tidak jauh dari lokasi pasar tradisional (johar). Pendirian Carrefour yang bersebelahan dengan pasar tradisional (johar) tersebut disinyalir dapat menurunkan pendapatan dan keuntungan yang drastis bagi para pedagang pasar tradisional di sekelilingnya (pasar johar). Hal ini dikarenakan keunggulan pasar modern atas pasar tradisional adalah bahwa pasar modern dapat menjual produk yang relatif sama dengan harga yang lebih murah, ditambah dengan kenyamanan berbelanja dan beragam pilihan cara pembayaran. Menurut pendapat penulis kehadiran pasar modern telah menyudutkan keberadaan pasar tradisional, hasil studi A.C. Nielsen, pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Jika kondisi ini tetap di biarkan, ribuan bahkan juataan pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya.
Dalam hal ini pemerintah Kabupaten Karawang telah membuat kebijakan tidak pro rakyat yang secara otomatis membangun iklim persaingan pasar yang tidak rasional dengan tingkat kesenjangan yang begitu jauh antara pasar tradisional dan pasar modern dengan cara diberikannya ijin pembangunan pasar modern yang bersebelahan dengan pasar tradisional, hal ini secara eksplisit memberikan kesan bahwa pemerintah tidak melindungi pasar tradisional yang menjadi basis pendapatan masyarakat kecil.
Seyogyanya pemerintah meninjau ulang bersama dinas terkait tentang pemberian ijin PT. Trias sebagai pengembang retail modern, dengan melihat fenomena yang terjadi di Indonesia tentang dampak negatif kehadiran pasar modern terhadap pasar tradisional yang harus dilindungi, pemerintah harus memprioritaskan kebijakan pembangunan ekonomi yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat pasar tradisional sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah kepada publik. Selain itu pun, untuk menghindari tenggelamnya pasar tradisional, sangat diperlukan penanganan terpadu, yakni adanya regulasi yang tegas untuk melindungi pasar tradisional, dukungan perbaikan infrastruktur serta penguatan manajemen dan modal pedagang di pasar tradisional.
Keberadaan pasar tradisional juga harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dari pemerintah mengingat pasar tradisional atau usaha kecil terbukti tidak rentan terhadap effek krisis multi dimensional yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Pemerintah juga harus mendorong pasar tradisional untuk melakukan perubahan pelayanan layaknya pasar modern yang harus dikembangkan oleh pasar tradisional agar tidak tersingkir dalam perebutan konsumen.
Oleh ; Adnan Maushufi

Perang Tarif Antar Operator Seluler di Indonesia

Assalamualaikum WR.WB
Salam warta warga GUNADARMA
Perang Tarif Antar Operator Seluler di Indonesia

Telekomunikasi telah menjadi candu bagi masyarakat luas. Perkembangan globalisasi dunia mampu menipiskan bahkan meniadakan jarak geografis melalui media komunikasi virtual. Setiap manusia memerlukan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tak mengherankan jika bisnis telekomunikasi berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Kondisi geografis Indonesia mendukung industri seluler berkembang pesat dalam menjawab kebutuhan masyarakat akan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi mampu menggeser media komunikasi dari kebutuhan sekunder atau tersier menjadi kebutuhan primer. Lihat saja, jika dulu telepon seluler (ponsel) menjadi barang mewah konsumsi kelas menengah keatas, sekarang hampir seluruh elemen kelas masyarakat telah memiliki ponsel sebagai bagian dari kebutuhan dan gaya hidup. Tak peduli seorang pejabat negara, pengusaha, mahasiswa, pelajar hingga tukang sayur keliling hampir dapat dipastikan merupakan pengguna ponsel. Meski sama-sama memiliki ponsel, pasti terdapat perbedaan penggunaan fasilitas antar pengguna ponsel itu. Sebagian konsumen cukup puas dengan menggunakan fasilitas pesan pendek (sms) dan panggilan telepon (voice call), namun sebagian konsumen lainnya sangat membutuhkan koneksi internet melalui jaringan GPRS maupun 3G. Tak heran jika para operator ponsel terus memperbanyak fitur dengan tarif bersaing.
Pasar Seluler di Indonesia
Indonesia memiliki luas wilayah, jumlah penduduk dan letak geografis yang sangat potensial dalam pengembangan bisnis telekomunikasi seluler. Kue yang sangat besar ini diperebutkan oleh sepuluh operator seluler yang bermain di wilayah ini yaitu Telkom, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo, Hutchison, Sinar Mas Telecom, Sampoerna Telecommunication, Bakrie Telecom, Mobile-8, dan Natrindo Telepon Seluler. Dari sepuluh operator tersebut hanya terdapat tiga operator yang memiliki pangsa pasar diatas 5%, yaitu Telkomsel (55,6%), Indosat (24,8%) dan Excelcomindo (14,8%). Tak mengherankan jika antar operator bersaing dalam memperoleh dan mempertahankan konsumen dengan berbagai strategi yang diterapkan. Beberapa strategi yang diterapkan operator seluler antara lain penawaran bonus kartu perdana (starter pack), bonus isi ulang, bonus pemakaian pulsa, berbagai hadiah melalui penukaran poin, dan tarif sms maupun panggilan murah. Persaingan antar operator seluler terlihat nyata dengan melimpahnya berbagai bonus dan tarif yang cenderung terus menurun. Apakah perang tarif antar operator seluler mampu menjadi media efektif dalam menjaring dan mempertahankan konsumen? Berbagai bonus dan tarif murah yang tidak serta merta menguntungkan konsumen dan menaikkan pendapatan operator sehingga diperlukan kajian kritis terhadap kebijakan tersebut.
Perang Iklan Seluler
Kemampuan membuat iklan yang bagus sehingga dapat menarik perhatian konsumen potensial bukanlah hal yang mudah. Selain kreatifitas perancang iklan, operator seluler juga harus mampu mengenaIi karakteristik sasaran pasar yang ingin dicapai. Salah satu karakteristik masyarakat Indonesia menyukai apa yang dinamakan “gratis”. Budaya senang gratisan ini bukan hanya pada level kelas bawah namun level menengah atas pun tak luput memiliki kesenangan yang sama. Tak heran jika kebanyakan operator menyajikan berbagai bonus mulai gratis sms, pulsa, tarif murah bahkan panggilan gratis yang disampaikan melalui iklan-iklan menarik dengan artis ternama. Tawaran yang disampaikan melalui iklan-iklan tersebut diharapkan dapat membentuk persepsi positif calon konsumen sehingga membangun intensi untuk mengambil keputusan menggunakan produk tersebut. Namun berbagai bonus tersebut seringkali dibatasi oleh syarat dan ketentuan yang berlaku (term and conditions) yang tidak dijelaskan dalam iklan. Konsumen kadang merasa dirugikan ketika mereka tergiur bonus dan tarif murah yang ditawarkan operator seluler dan baru mengetahui berbagai bonus dan tarif murah itu memiliki syarat dan ketentuan berlaku yang berderet-deret setelah mereka telanjur membeli produk itu. Hal ini dapat dikatakan sebagai fenomena pembodohan konsumen. Fenomena pembodohan konsumen ini dapat menjadi ancaman bagi industri seluler masa depan jika terus berlanjut hingga masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap operator tersebut. Perilaku lebih bijak telah dilakukan beberapa operator besar yang mencantumkan syarat dan ketentuan berlaku terutama dalam iklan-iklan outdoor-nya.

Mengapa operator lebih gencar menawarkan berbagai bonus dan tarif murah pada pelanggan prabayar dibandingkan pascabayar? Mayoritas konsumen seluler di Indonesia merupakan pengguna kartu prabayar yang cenderung lebih beresiko untuk berganti nomor atau berpindah operator, berbeda dengan pengguna kartu pascabayar yang lebih terjamin loyalitasnya. Strategi bonus dan tarif murah dipergunakan operator seluler dalam meningkatkan loyalitas pengguna kartu prabayar. Kebanyakan strategi ini hanya diberlakukan terhadap pengguna kartu prabayar sehingga dimungkinkan dapat menimbulkan kecemburuan dari pengguna kartu pascabayar yang merasa dinomorduakan. Jika ini sebagai strategi mempertahankan loyalitas konsumen, mengapa tidak diberikan pada semua konsumen seluler prabayar maupun pascabayar? Meskipun bonus dan tarif bukan satu-satunya alasan loyalitas, karena rata-rata konsumen menyatakan bahwa nomor ponsel mereka sudah telanjur menyebar sehingga jika sampai terjadi pergantian nomor maka mereka merasa enggan saat harus menginformasikan nomor baru tersebut pada relasi, kolega, teman dan keluarga. Gonta-ganti nomor juga memiliki kesan kurang elegan, apalagi bagi seorang pebisnis, karena dapat menurunkan tingkat kepercayaan relasi bisnisnya.
Klasifikasi Konsumen Seluler dan Perang Tarif
Konsumen terbagi dalam dua kelompok, yaitu konsumen coba-coba (trial) dan konsumen tetap (loyal). Konsumen coba-coba (trial) dapat berubah menjadi konsumen tetap (loyal) jika mereka terpuaskan oleh pelayanan, fasilitas dan kualitas operator seluler pilihannya. Begitu pula alasan bagi konsumen tetap (loyal) untuk tetap bertahan atau berpindah ke operator lain. Berbagai bonus dan tarif murah yang menarik bagi sebagian konsumen belum tentu sesuai dengan konsumen lain karena perbedaan kebutuhan. Konsumen yang memiliki aktifitas di malam hari akan diuntungkan dengan tarif murah atau bahkan gratis pada jam-jam off peak, berbeda dengan konsumen yang tidak memiliki aktifitas di malam hari lebih memilih hitungan tarif perdetik atau flat 24 jam. Artinya konsumen yang memegang kendali bijak dalam menentukan pilihan produk yang sesuai kebutuhan aktifitas masing-masing. Bersikap bijak dan kritis sangat penting untuk mengendalikan kognisi kita sebagai konsumen dalam mempersepsikan iklan-iklan operator seluler.

Penawaran tarif murah selintas memang mampu menarik perhatian konsumen, namun apakah konsumen otomatis memiliki intensi untuk memilih produk itu? Belum tentu, karena konsumen masih memiliki berbagai pertimbangan selain bonus dan tarif dalam menentukan pilihannya seperti jangkauan area yang luas, fitur dan kualitas layanan (suara bening, kemudahan koneksi/interkoneksi, perlindungan hak konsumen). Tarif murah dengan beragam fitur tak akan ada artinya jika jangkauan area sempit dan suara tidak jelas atau terputus-putus. Begitu pula fitur menarik, kualitas layanan bagus dengan jangkauan luas namun memiliki tarif yang mahal juga akan menjadi pertimbangan bagi konsumen yang daya belinya semakin menurun. Berbagai variabel yang menentukan kepuasan konsumen harus selalu menjadi perhatian para operator agar dapat tetap eksis dalam industri seluler.
Kehadiran Operator Seluler Baru
Operator seluler baru yang muncul belakangan memiliki tantangan besar dalam meraih pasar sementara jangkauan area dan kualitas layanan yang dimilikinya masih terbatas. Kenyataan ini memicu operator baru menawarkan tarif yang jauh lebih murah, bahkan tarif yang kadang terlihat tidak rasional untuk bisa menutup ongkos produksi. Sayangnya, operator seringkali tidak menjelaskan apakah itu tarif sementara masa promosi atau tarif tetap. Satu hal yang tidak boleh diabaikan operator adalah jangan terlena dalam memanjakan konsumen untuk memenuhi tujuan jangka pendek berupa tingkat penjualan nomor yang tinggi hingga melalaikan perbaikan kualitas layanan dan perluasan jaringan. Ketidakpuasan menyebabkan konsumen hanya akan bertahan sesaat ditengah berbagai pilihan yang disajikan operator lain. Jika hal ini terjadi maka operator terutama yang memiliki pangsa pasar relatif kecil hanya akan berjalan menuju kematian. Sedangkan bagi operator-operator besar yang mendominasi pasar, jumlah konsumen yang tinggi harus diimbangi dengan daya dukung kualitas pelayanan sehingga tidak terjadi traffic jam. Traffic jam seringkali terjadi saat para konsumen menggunakan fasilitas jaringan secara bersama-sama misalnya momen tahun baru atau hari raya. Operator seluler memiliki kewajiban layaknya sebuah bank yang melindungi rahasia nasabah, maka operator seluler juga memiliki kewajiban melindungi rahasia pelanggan sebagai pemenuhan hak konsumen. Rahasia pelanggan tidak hanya mengenai identitas pelanggan namun juga informasi-informasi yang mengalir melalui media seluler tersebut.

Tarif murah otomatis menurunkan margin keuntungan, namun peningkatan pemakaian akibat penurunan tarif tersebut diharapkan dapat mendongkrak pendapatan operator seluler. Resiko yang diambil perusahaan dengan menurunkan margin keuntungan ini dapat menjadi bumerang jika kepuasan konsumen tidak terpenuhi, sehingga konsumen coba-coba (trial) hanya bertahan 1-2 bulan atau bahkan konsumen tetap (loyal) pun akan berpindah ke operator lain. Sehingga tarif murah tidak dapat menjadi alasan operator untuk menomorduakan kualitas dan pelayanan. Perang tarif dengan mengabaikan kualitas dan pelayanan akan menjadi perang tarif yang tidak logis sehingga akan merugikan konsumen maupun operator seluler sendiri. Operator harus cerdas dalam menentukan sasaran konsumen agar bonus dan tarif yang diberikan sesuai kebutuhan konsumen sehingga strategi ini tidak menjadi bumerang bagi operator. Kesesuaian strategi dengan kebutuhan pasar dapat memberikan keuntungan bagi konsumen sehingga konsumen cenderung akan meningkatkan pemakaian yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan operator.
Langkah-Langkah Strategis dalam Perang Tarif
Perang tarif antar operator seluler yang berakibat semakin rendahnya biaya telekomunikasi sejauh ini selintas memang terlihat menguntungkan masyarakat, namun kenyataannya banyak konsumen yang merasa kualitas dan pelayanan operator seluler yang belum maksimal. Jika perang tarif terus berlanjut tanpa dikendalikan secara rasional, akan dapat merugikan konsumen maupun operator seluler sendiri. Beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh agar perang tarif lebih bijak dan menguntungkan semua pihak, adalah:
• Pemerintah
Pemerintah membuat regulasi yang mengatur batas atas-bawah tarif komunikasi seluler (antar pelanggan maupun antar operator) dengan memperhatikan biaya produksi komunikasi (koneksi, interkoneksi, dan basis teknologi yang digunakan). Adanya regulasi batasan tarif ini akan mengendalikan tarif berada pada koridor yang rasional dan mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi dengan adanya “kongkalikong” atau kesepakatan dibalik layar antara operator-operator seluler besar dalam penentuan tarif. Kesenjangan tarif yang tidak terlalu lebar akan membuat semua operator dapat bersaing dalam memberikan kualitas dan layanan maksimal dengan tarif yang rasional.

• Operator Seluler
Operator seluler harus melakukan penentuan sasaran pasar yang tepat sehingga strategi yang diterapkan sesuai kebutuhan pasar. Operator seluler harus bersikap jujur dalam membuat iklan-iklan sehingga konsumen tidak merasa terjebak dalam membeli produknya. Penetapan tarif rasional yang terjangkau, peningkatan kualitas dan layanan maksimal merupakan variabel penting bagi eksistensi operator ditengah persaingan bisnis komunikasi seluler Indonesia.
• Masyarakat
Masyarakat harus bersikap bijak dalam menentukan pilihan produk layanan seluler sesuai kebutuhannya. Masyarakat dituntut selalu bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan operator seluler sehingga tidak terjebak pada informasi atau iklan-iklan yang menyesatkan. Sebagai konsumen, masyarakat memiliki hak memperoleh kualitas dan layanan maksimal dari operator seluler.
Elemen pemerintah, operator seluler maupun masyarakat memiliki peran dalam menjaga eksistensi industri seluler di Indonesia.
Eksistensi industri seluler dapat dibangun dalam persaingan yang sehat antar operator seluler dengan perang tarif yang rasional tanpa mengabaikan kualitas dan layanannya. Terjaganya keharmonisan industri seluler dalam persaingan sehat dapat memberikan keuntungan bagi konsumen untuk memperoleh kualitas layanan maksimal dengan harga kompetitif, sedangkan operator bersaing dalam peningkatan kualitas dan layanan maksimal untuk memperoleh dan mempertahankan pasar. Jika demikian yang terjadi, tentunya industri seluler tidak sedang berjalan menuju kematian bukan?

Minimarket Alfa vs. Minimarket Indo

Indofood Group merupakan perusahaan pertama yang menjadi pionir lahirnya mini market di Indonesia pada tahun 1988. Kemudian Hero Supermarket mendirikan Starmart pada tahun 1991. Di susul Alfa Group mendirikan Alfa Minimart pada tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi Alfa. Dalam hitungan tahun, mini market telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu konsumen hanya mengejar harga murah, sekarang tidak hanya itu saja tetapi kenyamanan berbelanja pun menjadi daya tarik tersendiri.
Bisnis mini market melalui jejaring waralaba alias franchise berkembang biak sampai pelosok kota kecamatan kecil. Tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Khususnya mini market dengan brand Indo dan Alfa. Siapa yang tidak kenal Indo? Dan siapa yang tidak kenal Alfa? Anak kecil pun kalau beli permen pasti “nunjuknya” minta ke Indo atau ke Alfa. Kedua merk ini dimiliki oleh group perusahaan raksasa yaitu Indo milik PT. marco Prismatama (Indo food Group) dan Alfa milik perusahaan patungan antara Alfa Group dan PT. HM Sampoerna, Tbk.
Indo ternyata berkembang tidak hanya dengan jejaring waralaba yang mencapai 785 gerai, tetapi gerai milik sendiri seabreg jumlahnya mencapai 1072 gerai(lihat grafik perkembangan toko yang diambil dari www.indomaret.co.id ). Sedangkan Alfa berdasarkan penelusuran penulis di www.alfamartku.com memiliki 1400 gerai, tidak diperoleh data mengenai jumlah yang dimiliki sendiri dan yang dimiliki terwaralaba.
Bila kita hitung rata-rata nilai investasi minimal untuk mendirikan mini market waralaba sekitar Rp. 300 juta saja (diluar bangunan). Dikalikan dengan 1.072 gerai yang dimiliki sendiri. Berapa ratus milyar PT. Indo marco Prismatama mengeluarkan dana untuk investasi di bisnis mini market? Indo food Group juga ternyata tidak saja pemilik merk Indo, tetapi juga mendirikan mini market Omi, Ceriamart, dan Citimart lewat anak perusahaannya yang lain. Belum lagi didukung dengan distribusi barang, bahkan juga sebagai produsen beberapa merk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua dikuasai dari hulu sampai hilir. Dari sabang sampai merauke.



Persaingan Tidak Seimbang

Pasti kita maklum bersama, betapa sengitnya persaingan di bisnis ritel khususnya Indo dan Alfa sebagai market leader mini market. Dengan mengutip kalimat dalam artikel Sektor Ritel Makin Menggiurkan pada Swa Sembada No.01/XX/6-8 Januari 2005 (sumber.www.indomaret.co.id ) bahwa”Yang mungkin sangat sengit persaingannya adalah dalam hal perebutan lokasi. Pastinya setiap pemain memperebutkan lokasi-lokasi yang dinilai strategis. Apalagi di bisnis ini lokasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Perebutan lokasi strategis ini, bisa juga berpengaruh terhadap harga property. Bisa saja harga ruko jadi naik karena tingginya demand terhadap mini market.”
Jadi betapa agresifnya indo dan alfa dalam memperebutkan lokasi yang dinilai strategis. Bahkan hampir di setiap komplek perumahan/pemukiman pasti akan berdiri salah satu mini market waralaba tersebut dan atau keduanya. Sudah tidak mungkin pedagang eceran tradisional akan mampu mencari lokasi strategis lagi untuk saat ini dan di masa mendatang. Jika kita bandingkan dari modal saja, pedagang eceran sudah sulit bergerak.

Selain itu supermarket, toserba, dan bahkan kini ada pasar raksasa bernama hypermarket bermunculan. Baik hypermarket lokal maupun hypermarket dari luar sana. Sekedar ilustrasi mari kita berhitung sejenak, berapa banyak jumlah pasar raksasa tersebut mulai dari jalan Thamrin, Cikokol sampai BSD City di serpong, Tangerang. Di Kota Modern (Modernland) ada Hypermart , lalu hanya sekitar berjarak 1 km berdiri megah Carefour. Berikutnya di Serpong Town Square, kebon nanas berdiri Giant Hypermarket. Kemudian di World Trade Centre (WTC) Matahari, Serpong berdiri kembali Hypermart. Di samping pintu gerbang perumahan Villa Melati Mas, ada lagi Giant Hypermarket. Dan di International Trade Centre (ITC) BSD City ada Carefour. Semua itu jaraknya antara pasar raksasa yang satu dengan pasar raksasa yang lain hanya sekitar 1 km. Luarrr biasa.!
Apalagi jika kita melihat perang harga promosi mini market atau legih gila lagi hypermarket raksasa. Dengan spanduk atau baliho besar bertuliskan nama barang dan harganya yang fantastis rendah. ! Entah banting harga atau memang harga beli mereka yang teramat rendah bila di bandingkan dengan harga beli pedagang eceran kecil bergerai warung atau toko tradisional. Memang tidak semua barang berharga murah, tetapi membanting harga sedemikian rendahnya di bawah harga pasar, membuat miris para pedagang eceran kecil. Masih untung Cuma perang harga!
Dengan tidak bermaksud menggugat cara-cara promosi yang dilakukan oleh para pengelola pasar raksasa tersebut. Penulis hanya ingin mengajak kepada para pengelola pasar raksasa untuk membayangkan sejenak. Bagaimana perasaan pedagang warung dan toko tradisional, ketika ada konsumen bilang “di hypermarket aja harganya sekian???”. Kita tidak menyalahkan konsumen yang punya pemikiran demikian, membandingkan harga di hypermarket dengan di warung atau toko tradisionl. Juga tidak bisa menyalahkan hypermarket dengan promosi harga yang gila-gilaan. Mungkin ini salah satu fenomena globalisasi.

Nama kelompok Mata Kuliah Etika Bisnis:
1. Da'i Hudaya 11206131
2. Gema Mochamad
3. Khoirul Adi Wicaksono