Selasa, 05 Januari 2010

TETESAN KERINGAT PADA SETIAP KARYA ( HAK CIPTA )

Desain produk, web design, aransemen musik, lirik lagu, puisi atau sekedar tulisan ringan seputar kehidupan sehari-hari merupakan karya-karya yang masuk ke dalam skup karya Intelektual. Ada hak moral serta hak ekonomi terkandung di setiap karya.
Trend blogging yang melanda di Indonesia sejak beberapa tahun silam dan sepertinya masih belum mencapai titik puncaknya makin memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat pembajakan tinggi dan terus bertambah. Hal ini tetap terjadi meski pembajakan software yang diindikasikan dengan penjualan CD/DVD di pasaran semakin berkurang, sebab di sisi lain, terutama pembajakan karya intelektual di dunia online (internet) semakin meningkat pesat. Saya tidak membuat posting ini untuk menggurui semua orang –sebab kenyataannya toh saya juga masih seringkali membajak, walau harus saya akui banyak karya online saya yang dibajak dengan mudahnya–. Posting ini saya buat hanya sekedar ingin berbagi sedikit cara pandang dan upaya pembangunan kesadaran sikap. Orang kuno bilang bahwa pada dasarnya setiap orang itu sama dan yang membedakan hanyalah cara pandangnya terhadap hidup (prinsip). Semoga apa yang saya haturkan dengan sederhana di paragraf berikut dapat sedikit membantu proses pembentukan cara pandang anda terhadap karya orang lain.
Berkarya itu merupakan sebuah proses merealisasikan ide menjadi sebuah bentuk yang memiliki kemanfaatan bagi orang lain. Sekurang-kurangnya untuk membuat suatu karya, seseorang harus meluangkan waktunya untuk menyiapkan ide dan meneteskan keringat untuk mewujudkannya. Tidak jarang untuk mempersiapkan sebuah karya si pemilik ide juga harus mengeluarkan biaya. Bersandar dari kenyataan tersebut tentulah kita semua bisa memahami sungguh bahwasannya berkarya itu membutuhkan pengorbanan. Meski si pemilik karya tidak menjual hasil karyanya dan hanya membagikannya secara gratis (biasanya yang seperti ini adalah karya non fisik sehingga tidak menimbulkan biaya atau hanya sedikit mengeluarkan biaya) bukan berarti hak moral ataupun hak ekonomi si pemilik menjadi terlepas begitu saja.
Berkait dengan tingginya tingkat pembajakan di Indonesia ini, ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh rendahnya pendapatan perkapita masyarakat. Saya sendiri tidak sependapat dengan hal ini dan saya juga meyakini bahwa ada banyak sekali pakar Intelectual Property yang tidak sependapat jika ini dijadikan alasan utama. Benar memang bahwa masyarakat Indonesia itu mayoritas berpendapatan rendah dibandingkan pendapatan perkapita di negara lain hanya saja masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat dengan pola hidup konsumtif. Saya kira keadaan ini tidak jauh berubah sejak Muchtar Lubis di tahun 1970-an menuliskan ciri-ciri manusia Indonesia (…yang salah satunya adalah bahwa masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat konsumtif…) hingga krisis moneter melanda 1 dekade yang lalu. Cari saja statistik jumlah pengguna ringback tone di Indonesia atau cari juga berapa banyak orang Indonesia yang menggunakan jasa premium SMS untuk mengikuti kuis. Jika masih kurang puas, lihat pula statistik penjualan gadget canggih ataupun mobil mewah. Kemudian silakan anda bandingkan itu semua dengan rata-rata income per capita-nya. Saya yakin hasilnya berbanding terbalik ! Berdasarkan fakta tersebut tidak relevan kiranya menjadikan rendahnya per capita income sebagai kambing hitam. Lalu apa?
Saya berpendapat bahwa hal ini tidak lain disebabkan oleh tingkat kesadaran terhadap Intelectual Property yang berbeda-beda di Indonesia. Parahnya, tingkat kesadaran yang rendah sepertinya lebih banyak mendominasi. Pada aspek ini kita tidak bisa menggunakan tingginya tingkat penggunaan ringbacktone sebagai bukti tingginya kesadaran orang Indonesia akan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebab faktanya industri nada sambung pribadi (ringback tone) memang dikelola oleh provider terbatas. Justru, tingginya tingkat penggunaan ringbacktone di tengah rendahnya kesadaran HKI dapat menjadi pelajaran menarik. Sepertinya, masyarakat Indonesia mudah terpengaruh dengan yang namanya tren. Juga sangat termakan dengan sesuatu yang prestise. Untuk itu sepertinya para trendsetter serta penghasil karya intelektual haruslah bersama-sama menciptakan budaya gengsi membajak dan menjadikan tindakan menghargai hasil karya sebagai suatu tren. Mungkin, hal ini dapat mengurangi atau setidaknya menghentikan tren naik pembajakan di bumi pertiwi ini.
Kiranya saat ini cukup demikian yang bisa saya tuliskan. Semoga apa yang saya maksudkan bisa tersampaikan dengan baik melalui tulisan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar